Langsung ke konten utama

To be Somebody else










Terkadang di suatu waktu, tempat dan keadaan kita bisa menjadi seseorang yang sangat menyebalkan. Sangat egois dan sensitif.Tak tahu kenapa. Sepertinya situasi dan kondisi sudah menandatangani suatu kontrak perjanjian untuk membuat kita menjadi sosok yang lain.
Menyeramkan memang. Tapi itulah yang benar-benar terjadi. Atau mungkin saja sosok itulah diri kita yang sebenarnya. Entahlah.

Kalau dibilang egois, aku rasa setiap orang mempunyai sifat itu. Dan dalam perspektif yang berbeda, tiap-tiap orang menentukan batas toleransinya. Perbedaan perspektif itulah yang kadang membuat masing-masing dari kita menjadi bertentangan. Dan tidak mau bersinggungan ataupun berurusan lagi.

Kalau dihadapkan pada masalah seperti ini, siapa yang patut disalahkan?
Aku sudah tahu jawabnya, tidak ada yang salah. Hanya saja, terkadang sudut pandang kita yang tidak bisa jatuh dalam bidang yang sama. Itu yang jadi masalahnya. Kalau mau saling dibicarakan dan diperluas sedikit sudut pandang kita tadi, jarak antara keduanya akan semakin menipis.
Memposisikan diri kita dalam posisinya adalah suatu bentuk pemahaman terhadap sudut pandang orang lain.
Sehingga irisan antara dua sudut pandang yang berbeda itu dapat terbentuk.

Sangat mudah untuk berkata-kata, tetapi tidaklah mudah untuk membuat irisan itu jadi nyata. Butuh waktu karena banyak ego lainnya yang akan berteriak tidak setuju. Penaklukan ego, itulah episode tersulit yang harus dihadapi. Dan aku yakin tidak semua orang bisa melakukannya.

Termasuk - - - :)P

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Is he the one?

Hari ini aku datang ke acara pernikahan teman, terus terlintas lagi pertanyaan yang sama setiap kali menghadiri acara seperti ini. Kok mereka bisa yakin ya...bahwa orang yang duduk di sebelahnya (pasangannya) itu adalah ”the one”. Harus kuakui bahwa aku salut dengan orang-orang yang berani mengambil keputusan untuk menuju ke jenjang pernikahan. Rasanya hebat aja? Apalagi kalau pasangan yang menikah itu usianya masih dibawahku..he..he.. Mereka itu memutuskan menikah karena memang udah yakin kalau dia itu adalah ”the one”-nya atau karena sudah nggak tahu lagi mau ngapain karena pacaran sudah lama atau karena usia sudah mepet dengan kepala tiga atau karena desakan orang tua dan lingkungan? sederet pertanyaan itulah yang selalu ada di kepalaku. Terus, bagaimana caranya untuk mengetahui bahwa “yes, he/she is the one for me”. Apakah ada semacam feeling atau firasat apa gitu waktu bertemu dengannya? Itu yang selalu kutanyakan pada teman-temanku yang sudah menikah. It is the w...

Puncak itu Semu

Disini, di episode terbaruku, kucoba untuk melihat rangkaian frame dalam episode hidupku sebelumnya. Di suatu tempat dan waktu antara 5 - 6 tahun yang lalu, masih teringat jelas, dimana dalam pikiranku saat itu, aku merasa itulah masa yang terberat dalam hidupku. Aku berkeinginan untuk sesegera mungkin dapat melampauinya, kalau perlu melangkahi masa itu. Keinginanku terlalu besar, bisa dibilang terobsesi. Pernah ada kata 'menyerah' tapi ternyata aku bisa bangkit lagi. Tetapi baru sekarang aku sadar, mungkin itulah proses yang harus aku lalui. Andai aku tidak pernah mengalami tempaan di masa itu aku tidak akan pernah sampai disini. Masih dengan segala kesadaran dan kebodohan yang aku miliki. Satu tempat satu waktu tapi ternyata tiap-tiap orang mempunyai pandangan yang berbeda. Saat ini aku berada di suatu tempat dan waktu yang dulu aku impikan, kalau hidup diibaratkan perjalanan mendaki gunung, mungkin orang akan melihat aku berada di puncaknya. Tapi ternyata, diriku yang dipand...

Do'a

ya Tuhan dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya sunyi dan berikanlah arti pada hidupku yang terhempas yang terlepas pelukanMu, bersamaMu dan tanpaMu aku hilang selalu ya Tuhanku inikah yang Kau mau benarkah ini jalanMu hanyalah Engkau yang kutuju pegang erat tanganku bimbing langkah kakiku aku hilang arah tanpa hadirMu Tuhanku dalam gelapnya malam hariku sedih ini tiada arti jika Kaulah sandaran hati diambil dari lirik lagu "Permintaan Hati dan Sandaran hati" oleh Letto